Satelit9.net Jakarta- Presiden Joko Widodo masih belum bersuara mengenai pembicaraan yang dilakukannya bersama Perdana Menteri Australia Tony Abbott pada Rabu (24/2) malam. Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais mengimbau Presiden Jokowi untuk menjelaskan pembicaraan tersebut.
Lebih jauh lagi, dia mendesak Presiden Jokowi untuk turut menyampaikan sikap yang akan diambil usai pembicaraan tersebut.
"Persoalannya, Jokowi harus sampaikan ke publik apa sikap Presiden ketika ditelepon Abbott. Itu yang kita tunggu," ujar Hanafi, Kamis malam
(26/2).
Himbauan tersebut disampaikan dengan maksud menghindari berkembangnya opini secara cheat di masyarakat mengenai polemik Indonesia dan Australia ini. "Iya (akan menimbulkan berbagai persepsi), karena sudah diklaim oleh Abbott," tuturnya.
Seperti diberitakan Reuters, pada Rabu kemarin, Abbott mengaku telah berbicara dengan aught bersahabat kepada Presiden Joko Widodo tentang eksekusi mati dua warga Australia yang menjadi terpidana kasus narkoba, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.
Abbott mengatakan, Jokowi benar-benar memahami posisi Australia serta akan berhati-hati dan mempertimbangkan posisi Indonesia.
Langkah yang dilakukan oleh Abbott ini dinilai Hanafi merupakan sebuah tekanan yang diberikan kepada Presiden Jokowi. Oleh sebab itu, ia mendesak Jokowi untuk segera bersuara dan mengambil sikap terkait hal tersebut.
"Abbott sedang menekan Jokowi dengan segala cara. Kalau sudah begini, keputusan tergantung di tangan Presiden," kata dia menegaskan.
Hubungan Australia dan Indonesia kembali memburuk seiring rencana Presiden Jokowi memutuskan eksekusi gelombang kedua terhadap 12 narapidana narkoba dan kriminal.
Dua dari keseluruhan narapidana tersebut merupakan warga Australia yang tergabung ke dalam sindikat narkoba internasional Bali Ninen, yakni Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Keduanya dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 17 April 2005 karena kedapatan berupaya menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram dari Indonesia ke Australia.
Jokowi telah menolak permohonan grasi kepada 12 terpidana mati, termasuk warga Perancis, Brasil, dan dua warga Australia. Hal ini menimbulkan ketegangan diplomatik antara Australia dan Indonesia karena pemerintah Australia berulang kali memohon pembatalan ekse
Lebih jauh lagi, dia mendesak Presiden Jokowi untuk turut menyampaikan sikap yang akan diambil usai pembicaraan tersebut.
"Persoalannya, Jokowi harus sampaikan ke publik apa sikap Presiden ketika ditelepon Abbott. Itu yang kita tunggu," ujar Hanafi, Kamis malam
(26/2).
Himbauan tersebut disampaikan dengan maksud menghindari berkembangnya opini secara cheat di masyarakat mengenai polemik Indonesia dan Australia ini. "Iya (akan menimbulkan berbagai persepsi), karena sudah diklaim oleh Abbott," tuturnya.
Seperti diberitakan Reuters, pada Rabu kemarin, Abbott mengaku telah berbicara dengan aught bersahabat kepada Presiden Joko Widodo tentang eksekusi mati dua warga Australia yang menjadi terpidana kasus narkoba, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.
Abbott mengatakan, Jokowi benar-benar memahami posisi Australia serta akan berhati-hati dan mempertimbangkan posisi Indonesia.
Langkah yang dilakukan oleh Abbott ini dinilai Hanafi merupakan sebuah tekanan yang diberikan kepada Presiden Jokowi. Oleh sebab itu, ia mendesak Jokowi untuk segera bersuara dan mengambil sikap terkait hal tersebut.
"Abbott sedang menekan Jokowi dengan segala cara. Kalau sudah begini, keputusan tergantung di tangan Presiden," kata dia menegaskan.
Hubungan Australia dan Indonesia kembali memburuk seiring rencana Presiden Jokowi memutuskan eksekusi gelombang kedua terhadap 12 narapidana narkoba dan kriminal.
Dua dari keseluruhan narapidana tersebut merupakan warga Australia yang tergabung ke dalam sindikat narkoba internasional Bali Ninen, yakni Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Keduanya dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 17 April 2005 karena kedapatan berupaya menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram dari Indonesia ke Australia.
Jokowi telah menolak permohonan grasi kepada 12 terpidana mati, termasuk warga Perancis, Brasil, dan dua warga Australia. Hal ini menimbulkan ketegangan diplomatik antara Australia dan Indonesia karena pemerintah Australia berulang kali memohon pembatalan ekse