Polemik Sabda Sultan,Semua Mata Melihat Kraton

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Masukkan kode iklan di sini. Direkomendasikan iklan ukuran 970px x 250px. Iklan ini akan tampil di halaman utama, indeks, halaman posting dan statis.

Polemik Sabda Sultan,Semua Mata Melihat Kraton

Minggu, 10 Mei 2015
Satelit9.info Jakarta-Sangat wajar
jika saat ini ‘memandang’ Kraton Yogyakarta dengan mata lebih lebar dibanding sebelum terjadi Sabdaraja 30 April 2015 lalu. Demikian pula telinga khalayak luas, ingin mendapat penjelasan yang tegas. Beberapa hari terakhir, masyarakat hanya dapat meraba-raba makna Sabdaraja yang dinilai dilingkupi misteri itu (KR, 4/5). Disayangkan, Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB X, enggan berkomentar. Alasannya, Sabdaraja diperuntukkan centralized kraton. Bukan untuk publik. Sabdaraja adalah titah raja dengan nilai lebih tinggi dari Sabdatama. Isi Sabdaraja tersebut, pertama, penyebutan Buwono menjadi Bawono. Kedua, tidak lagi menggunakan gelar khalifatullah. Ketiga, penyebutan Kaping Sedasa diganti Kaping Sepuluh. Keempat, akan mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Kelima, HB X akan menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun. Keingintahuan khalayak menggiring opini bahwa Sabdaraja mengarah kemungkinan suksesi pada perempuan. Sehingga dimungkinkan akan dinobatkan perempuan raja. Budayawan dan sejarawan M Jazir ASP yang dikenal sangat dekat dengan keluarga Sultan HB X, juga menafsirkan hal tersebut. Meski Jazir juga tak menutupi bahwa Sabdaraja (yang dapat dibilang dekrit) itu membuat gejolak di kalangan internal. Dari sudut pandang sejarah, Sabdaraja dinilai menyimpang dari paugeran atau konstitusi kraton. Pada era keterbukaan pers seperti saat ini, suatu peristiwa sulit tidak dilihat dan didengar masyarakat luas. Dengan tiadanya penjelas dan penegasan resmi, tidak salah jika masyarakat saat ini meneropong kraton. Apalagi bagi mereka yang memang warga Yogyakarta. Para pendatang pun kebanyakan sangat handarbeni. Sehingga larut dalam melihat dan menilai kondisi kraton. Baik sekadar obrolan warung kopi. Namun juga di tingkat para akademisi dan cerdik cendekia. Melalui sudut pandang ilmu masing-masing ikut melihat gejolak kraton. Kebanyakan mencemaskan ‘sesuatu’ terkait dengan sinar keagungan Kraton Yogyakarta. Bagaimana para adik Sultan HB X bersikap pun, tak luput dari penilaian masyarakat. Langkah yang ditempuh empat adik Sultan HB X, yakni GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, GBPH Condroningrat dan GBPH Cakraningrat sowan untuk ‘mengadu’ dan ‘mohon maaf’ atas kondisi kepada para leluhur dengan ziarah adalah tindakan elegan. Mereka ke makam Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring. Langkah keempat bangsawan itu, mencerminkan kebijaksanaan dan kedalaman hati yang dapat menjadi teladan. Santun dan elegan, mampu mengendalikan diri dari perasaan kecewa (dan marah?). Perihal Sabdaraja tak kunjung reda, bahkan semakin menghangat. Sebab SelasaWage 5 Mei 2015 kemarin ada Sabdaraja lagi (kedua) di Siti Hinggil. Intinya mengganti nama GKR Pembayun (putri sulung Sri Sultan HB X-GKR Hemas) dengan nama Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama itu sama dengan Sri Sultan HB X, sebelum dinobatkan. Dengan demikian makin santerlah desas-desus (sas-sus) bahkan memang bakal ada Perempuan Raja di Yogyakarta. Atau, masih adakah Sabdaraja lagi.