Subsidi Elpiji 3 Kilogram Disepakati Rp 28,274 Triliun

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Masukkan kode iklan di sini. Direkomendasikan iklan ukuran 970px x 250px. Iklan ini akan tampil di halaman utama, indeks, halaman posting dan statis.

Subsidi Elpiji 3 Kilogram Disepakati Rp 28,274 Triliun

Rabu, 04 Februari 2015
Satelit9.net Jakarta -Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Komisi VII DPR-RI menyepakati subsidi elpiji 3 kilogram dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Perubah
an 2015 sebesar Rp 28,274 triliun.
Menteri ESDM Sudirman Said menuturkan, pertumbuhan konsumsi elpiji 3 kg sebesar 15 persen per tahun. Untuk mengantisipasi kelangkaan tersebut, pemerintah menaikkan subsidi LPG 3 Kg menjadi 5,766 juta ton, meningkat dibanding realsiasi tahun 2014 yang sebesar 4,988 juta ton.
"Angka ini usulan dari daerah. Menurut kami ini realistis," ungkap Sudirman, dalam rapat kerja, Rabu (3/2/2015).
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas), Kementerian ESDM, Wiratmaja Puja mengatakan, sejak konversi tahun 2009 lalu, pertumbuhan rata-rata mencapai 15 persen per tahun. Dia bilang, secara rutin kepala daerah mengirimkan kuota dari daerah masing-masing.
"Ada rumah tangga baru sebanyak 1,8 juta rumah tangga, usaha mikro baru sebanyak 4,57 juta di backbone 123.000 merupakan usaha kecil, dan ditambah migrasi sekitar 10 persen, sehingga akhirnya didapat angka 5,766 juta ton," papar Wiratmaja.
Perbaikan distribusi
Meski menyepakati besaran subsidi elpiji 3 Kg, namun parlemen memberikan catatan agar pemerintah memperbaiki distribusi. Anggota Komisi VII DPR-RI dari Fraksi Gerindra Harry Poernomo menyoroti kelangkaan LPG 3 Kg yang masih sering terjadi.
Menurut dia, kelangkaan tersebut diakibatkan tidak hanya adanya migrasi yang dipicu disparitas harga antara LPG tabung allotment dengan LPG 12 Kg. Urusan distribusi ditengarai membuat barang subsidi ini tak tepat sasaran.
"Masyarakat lapis bawah selalu merasa aggregate 3 Kg ini kurang. Ini resiko karena kita tidak melakukan distribusi secara baik," ujar Harry.
Dia melihat, yang dialami masyarakat bawah umumnya adalah susahnya mendapatkan barang tersebut. Dan kedua, kalau pun ada, harga jualnya banyak yang melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah Daerah. "Kalaupun ada migrasi, tolong diadakan survei berapa persen yang migrasi," imbuh dia.